Tweet
Kejadian “benci segi tiga” itu terjadi di era 1960-an. Ketika Bung Karno mengunjungi Filipina tahun 1964, suami Imelda,Ferdinand Marcos belum menjadi presiden. Ketika setahun sesudahnya, tahun 1965 suami Imelda diangkat menjadi presiden, Bung Karno memasuki ambang keruntuhannya.
Sukarno memang belum pernah bertatap muka dengan Imelda Marcos, mantan ibu negara Filipina. Walau kedua tokoh flamboyan tadi, Sukarno dan Imelda tak pernah bertemu, tapi keduanya mempunyai obyek yang sama untuk dimusuhi. Siapa musuh bersama mereka berdua? Siapa lagi kalau bukan The Beatles
Grup band asal Liverpool itu memang pernah bikin Bung Karno “alergi” dan bikin murka Ibu Negara Filipina, Imelda Marcos. Keduanya memang dikenal anti The Beatles, walau dengan alasan berbeda. Yang menarik, walau alasan anti The Beatles itu didasari latar belakang berbeda, tapi kisah tercecer di balik itu sama konyolnya. Inilah kisahnya!
Sudah banyak kita dengar kisah bagaimana Bung Karno melarang musik barat. Saya tidak ingin bercerita tentang Koes Plus yang dicekal karena musiknya yang “ke-beatles-beatles-an”. Itu sudah banyak kita dengar.
Dan bagaimana kisah perseteruan Imelda dengan The Beatles? Kenapa sampai John Lennon kapok dibuatnya? Kata John Lennon, “Saya tidak akan pernah mau lagi terbang ke Filipina. Bahkan cuma terbang lewat di atasnya juga ogah ah”, katanya.
Gara-garanya pengalaman pahit The Beatles ketika harus hengkang secara tidak menyenangkan dari Manila tahun 1966. Bagaimana kisahnya hingga Imelda yang tadinya kesengsem pada The Beatles, tiba-tiba jadi sangat murka pada anak-anak band itu?
Sebelum menengok insiden Imelda dengan The Beatles, sejenak kita tengok dulu situasi di tanah air tahun 1960-an. Anda tahu kan, bagaimana Sukarno memberantas musik ngak ngik ngok, termasuk musik Beatles dan Beatlemania di Indonesia.
Bukan cuma musiknya, tapi gaya rambutnya pun dilarang. Tukang cukur dilarang melayani pelanggan yang ingin memotong rambut ala The Beatles.
Razia rambut gondrong dilakukan di mana-mana. Bung Karno menyinggung dalam pidatonya tahun 1964, dia memerintahkan polisi untuk membawa anak-anak muda berambut model Beatles ke tukang cukur. Itu pidato resmi. Tapi di luar pidato, Bung Karno dengan tegas memerintahkan agar yang berambut gondrong dibikin plontos.
Kenyataannya, polisi memang tidak perlu membawa ”pasukan gondrong” ke tukang cukur. Karena polisinya sendirilah yang jadi tukang cukurnya. Inilah mungkin razia paling konyol dalam sejarah Indonesia. Karena orang yang kena razia, terpaksa manut saja model kepalanya dibikin kayak kelapa….langsung di tengah jalan! Jadi tontonan orang-orang.
Lha, polisi kok disuruh jadi hair-stylist dadakan. Hasilnya, tentu saja kepala anak-anak muda itu jadi pitak tidak karuan. Dan orang yang menonton tertawa-tawa. Apes anak-anak muda itu. Kètèrlaluan bah! Musiknya tak boleh, rambutnya haram……dan itu pun masih belum cukup!
Ternyata razia musik, razia rambut masih pula diikuti razia lain. Yaitu razia celana jengki, celana bray-cut, celana ketat ala The Beatles. Dilarang pakai celana ketat! Untuk menentukan seberapa ketatnya celana, polisi tidak perlu pusing-pusing. Cukup pakai botol bir. Jika di ujung celana di pergelangan kaki itu botol bir tidak bisa lagi dimasukkan, ini artinya celana itu terlalu ketat. Sebagai hukuman, celana itu harus digunting sampai paha. Gampang kan?
Senjata polisi cukup botol bir dan gunting. Jadi si korban razia tadi, sudah kepala pitak, celananya dibikin model kolor pula! Walaaah…..mau ikut mode, malah jadi salah model. Tidak heran penonton di jalanan jadi terpingkal-pingkal bersorak-sorai melihat dagelan gratisan itu.
Sebetulnya yang jadi soal bukan ngak ngik ngok-nya. Bukan soal gondrong dan celana jengki.Bukan soal “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” (jargon Bung Karno). Juga bukan soal dikipasi kelompok kiri. Sukarno bukan type plintat-plintut yang mudah dikipasi.
Masalahnya budaya ngak ngik ngok dan gaya anak-anak band itu, di mata Bung Karno, disuntikkan oleh imperialisme kapitalis. Buat Bung Karno, para imperialis itu hanya ingin merangsek Indonesia dengan segala cara. Termasuk melalui budaya. Itu yang jadi kutil dan bikin alergi Sukarno. Kebetulan saja yang terdengar dilarang adalah Beatles. Karena waktu itu band ini sedang digandrungi. Tapi sebetulnya yang juga ikut dilarang adalah musik barat produk kapitalisme lainnya, plus dansa-dansinya, termasuk musik Elvis Presley. Untung saja model jambul Elvis tidak ikut-ikutan dilarang.
Larangan musik tadi ikut bikin putra Bung Karno, Guntur Sukarnoputra yang waktu itu masih remaja jadi mangkel juga. Padahal Guntur itu hobinya musik. Sejak kelas 5 SD sudah main gitar dan punya kelompok band. Ketika SMP Guntur membentuk band Ria Remaja. Sebagai anak muda Guntur juga ingin mencoba memainkan musik yang sedang trend. Termasuk musik The Beatles yang dikatakan bapaknya ngak ngik ngok.
Guntur bercerita dalam wawancaranya, “Kalau ketahuan oleh Bung Karno saya ikut main musik, ya dipelototin atau ditegur. Hey, kamu main ngak ngik ngok, ya? Awas, jangan main lagi!”. Lalu dilanjutkannya, “Tapi kalau nggak ketahuan ya saya main lagi….ha…ha…ha…”
Di luar larangan musik barat, Bung Karno kadang “kena sentil” juga oleh joke orang-orang terdekatnya. “Kalau cewek western pasti Bung ndak bisa nolak kan?”. Menolak Marylin Monroe? Mana tahan. Rasanya tak akan ada yang percaya Bung Karno bisa bilang “NO” buat cewek, tidak perduli dia dari barat, utara maupun selatan. Memang susah cari presiden tanpa cela. Seperti kata Sukarno, “manusia mana yang tidak punya kekurangan?”.
Bung Karno sejak semula menolak The Beatles karena alasan ideologi. Lain dengan Imelda. Tadinya ibu negara ini memang sengaja mengundang The Beatles ke istana Malacanang karena memang demen plus demam The Beatles. Maklum, The Beatles lagi jaya-jayanya. Jadi idola di seantero dunia.
Kesan menakutkan itu semakin bertambah, ketika baru saja beristirahat di hotel. Sambil berbaring setelah perjalanan melelahkan, mereka sangat kaget ketika pintu kamar terdengar digedor keras sekali. Terdengar keributan di luar pintu. Begitu pintu dibuka, sejumlah petugas bersenjata membentak, “Cepat! Kalian harus segera ke istana sekarang juga! Kalian sudah ditunggu ibu negara!”. Padahal sebelumnya tidak ada perjanjian tentang itu. Permintaan mendadak yang memaksa-maksa dan dirasa tidak sopan itu, membuat mereka tak berpikir panjang, dan berkata “No, no, no!!!”.
Sesudah penolakan itu, The Beatles merasakan sangat jelas ada skenario yang diatur untuk mengintimidasi kehadiran mereka di Filipina.
egalanya pun menjadi mimpi buruk. Setiap menit yang mereka lalui di Manila rasanya seperti seabad. Konser mereka dihadiri penonton yang jumlahnya seperti jumlah penonton festival nyanyi tingkat kecamatan. Padahal rencananya itu adalah pertunjukan akbar dengan massa bejibun.
Pelayanan di hotel tiba-tba menjadi sangat tidak ramah. Makanan dari hotel kelihatan sangat buruk sehingga mereka jadi tak berselera menyantapnya.
Perlakuan lebih buruk lagi mereka terima ketika tiba saatnya meninggalkan Filipina. Untuk mencapai bandara, terpaksa mereka harus menumpang motor orang yang kebetulan lewat. Soalnya tidak seorang pun mau memberi mereka tumpangan mobil. Belum lagi caci maki yang mereka terima di sepanjang jalan. Orang-orang tak segan-segan meludah kasar di depan mereka. Bahkan mereka harus membawa segala peralatan sendirian karena tak seorang pun kuli pengangkut yang bersedia membantu.
Eskalator di bandara tiba-tiba berhenti pas ketika mereka hendak menapak kaki ke tangga berjalan itu. Padahal mereka membawa kopor dan peralatan berat. Terpaksa dengan ngos-ngosan mereka harus melalui tangga biasa. Beberapa orang kelihatan seperti ingin memukul dan menyerang mereka sambil memaki kasar, “Keparat! Kalian minggat sana sekarang juga!!!”.
Paul McCartney bilang, di ruang tunggu bandara mereka memilih duduk di belakang serombongan biarawati yang kebetulan ada di sana. Perhitungannya, orang-orang di negara Katolik tidak akan berani menyerang orang yang berada di dekat biarawati. Paul menggambarkan, mungkin itu jadi pemandangan unik jika ada yang memotret adegan tadi. Maksudnya kombinasi kontras antara “the bad boys” dan biarawati yang alim santun
Setelah bersusah payah, akhirnya mereka berhasil tiba di pesawat. Kontan mereka mencium kursi pesawat, karena kelegaan yang luar biasa. Rasanya seperti baru lolos dari maut.
Paul menuduh Marcos dan Imelda telah dengan sengaja menggunakan kediktatorannya mengatur orang-orangnya untuk meneror mereka selama di Manila. Saking geramnya, Paul berkata, “Seandainya saya punya bom, saya sudah menjatuhkan bom di sana!”. Sejak itu mereka bersumpah tidak akan pernah mau lagi menginjakkan kaki di Filipina.
Belakangan, Imelda Marcos memberi komentar dalam wawancaranya ketika ditanya apa pendapatnya tentang musik The Beatles. “The Beatles? Saya tidak pernah suka musik mereka. Musik mereka mengerikan!”, kata Imelda.
Siapa sangka seorang ibu negara terhormat, anggun dan cantik jelita bisa mengeluarkan pernyataan konyol semacam itu, hanya karena ngambek gara-gara maunya ditolak?
Ukuran suka atau tidak sukanya Imelda memang “suka-suka”. Sentral Imelda adalah “AKU”. Begitu “AKU”-nya tidak dituruti, maka Beatles yang tadinya dinantinya di istana dengan suka cita, kini dibencinya dengan suka-suka. Kalau maunya dituruti bilang “nice”, kalau tidak dituruti bilang “ horrible”. Wah, rupanya orang terhormat bisa juga bereaksi kekanak-kanakan kalau maunya ditolak.Dan bagaimana ukuran suka atau tidak suka dari Bung Karno? Buat Bung Karno, urusan suka atau tidak suka itu urusan nomor dua. Ini bukan soal “AKU”. Nomor satu itu ideologi. Yang penting jangan coba ganggu gugat ideologi anti imperialisme.
Sentral Bung Karno adalah “ISME”. Begitu isme-nya dan isme Beatles tidak se-harmoni, maka gunting dan botol bir yang bicara. Jangan membandingkan Bung Karno dan Imelda dong! Jauh amat! Begitu kata anda.
Membandingkan Imelda Marcos dan Bung Karno? Yang satu penghamba imperialisme kapitalis kalau perlu mengorbankan karakter bangsa. Dan yang satu arsitek karakter bangsa, karena itu menolak menghamba pada imperialisme kapitalis. Jelas beda jauh kan?
0 comments:
Posting Komentar