Sabtu, 03 Desember 2011

Angels & Airwaves - LOVE part 2. Petualangan Panjang Itu Akhirnya Berhenti Sementara.



File:Angels & Airwaves - Love Part Two cover.jpg Meninjau pergerakan bulan yang semakin tak beraturan dan cuaca yang semakin hari semakin tidak konsisten, namun sepertinya tidak mempengaruhi Delonge, Kennedy dan Watcher (dan tentu saja, Willard – yang memutuskan mengentikan petualangan setelah 5 tahun berjibaku meniru suara-suara dentuman para malaikat ) untuk menyelesaikan sebuah ambisi tanpa batas.

Lepas landas,

Setelah ekspektasi besar-besaran terhadap double album yang didengungkan – dan ditunda berkali-kali – kini, LOVE part 1 telah bertemu tulang rusuknya, LOVE part 2, dan tentu saja, semesta yang membangun pondasi kedua album tersebut, LOVE The Movie.


Review saya di album LOVE part 1 – album yang bisa diunduh gratis di setiap kesempatan – mungkin cenderung berlebihan dan menunjukan saya itu tak lebih dari maniak yang berwajah tampan di setiap kesempatan, namun, entahlah, Angels&Airwaves telah melakukan banyak hal pada saat-saat paling berat dan paling membahagiakan dalam hidup saya, wajar bila saya berlebihan.

Setelah dihajar dari berbagai sisi eksploitasi sound yang cenderung tumpang tindih, kadang menjemukan dan serba berat dalam LOVE part 1 yang penuh oleh kerumitan puisi Delonge yang cenderung dan berpotensi membuat otak kita terbebani oleh petualangan astronot yang hilang kontak dengan bumi dan tersesat di luar angkasa, kini berlanjut kepada sebuah petualangan lebih lunak dan masuk akal dalam LOVE part 2, departemen lirik yang jauh lebih ringan dari segi pemilihan kata, namun tetap mengingatkan kita akan pentingnya kewarasan otak untuk bersosialisasi dan mencintai kehidupan.

LOVE part 2 dimulai dengan ”Saturday Love”, banyak yang berfikir bahwa jalan cerita di lirik ini terlalu cheesy mengingat kemegahan intro yang begitu orgasmic dan seolah mengantar kita pada sebuah gerbang menuju dunia antah berantah yang megah namun dilapis lirik seakan-akan semua berakhir di klub malam penuh wanita menggoda di atas lantai dansa di hari sabtu yang ceria. Padahal, mereka tak menyelami bagaimana dillema romansa cinta yang tertulis rapih di verse rap a la Delonge yang – menurut saya – jauh lebih baik daripada ”The Flight of Apollo” (LOVE pt 1). Lagu ini menggambarkan bagaimana keresahan hati seseorang yang ingin sekali bercerita tentang segala hal yang ingin dia teriakan sepenuh hati kepada orang yang paling dicintainya, namun tak bisa dilakukannya, dan ia memendamnya dalam hati, terjebak dalam ketidakmampuannya. [I'm sorry but I can't tell you I feel like a pattern Of shapes that will never matter, a color that will never flatter...]  Keresahan yang megah dan menusuk dalam juga bergema dalam ajakan untuk memahami ketidakpastian mimpi. [So I just like to daydream, 'cause dreams only make me happy. Will you come along my love? Will you come along here with me?]

”Surrender” adalah tipikal lagu irama senam Jantung Sehat yang sering dipraktekan ibu-ibu dekat rumah saya, sebuah pelecut semangat untuk tetap bertahan hidup, lagu ringan sahabat dari nomor-nomor kebanggaan para kaum yang masih optimis menjalani hidup peninggalan dari LOVE pt 1 seperti ”Hallucinations” dan ”Epic Holiday”, meskipun Delonge sepakat berkata bahwa lagu ini seharusnya dinikahkan dengan ”Some Origins of Fire” saat ia menggambarkan hari-hari kelam [When God falls fast asleep The kids still dance in city streets From the white house lawn to the middle east And all around I'm just saying that this time I feel it now] dan lagu ini bekerja dengan baik.

”Anxiety” adalah kepingan dari salah satu satelit Saturnus yang jatuh mendarat di Bumi, dan menghujam Good In Bed Music milik Delonge. Nomor indah yang penuh eksploitasi cara bernyanyi dan sound yang diaransemen jauh lebih baik dari lagu-lagu bertema cahaya laser milik mereka sebelumnya. Watcher dan Kennedy bekerja sama dengan apik dengan dentingan synth milik mereka masing-masing sementara Delonge berkhotbah untuk membakar gairah pagi dari umat manusia yang kecewa dari getirnya hidup dan beteriak lantang. Dimulai dengan lirik yang bisa dimasukan dalam kategori galau tingkat tinggi bagi kalian generasi Seven Eleven [Faster, I dream in speeds of ashes My heart it beats and crashes I'm running from the truth Cause it fucks with my mind..] Dan selanjutnya  semakin penuh aroma kekecewaan dan kegelisahan yang disampaikan dalam perang laser dan percikan lampu yang membutakan mata dan mewakili kalian yang putus asa akan tekanan hidup di saat kita menyerah kepada hidup dan berteriak memohon  [Don’t pressure us Anxiety, i’m just a passenger!]  Entahlah, nomor ini begitu depresif sekaligus melegakan. Lengkap.

Intro halus mengawali lagu selanjutnya, sebuah balada berjudul ”My Heroine [It’s Not Over]” - yang terkesan kelanjutan dari “Breathe”(I Empire) dan “Clever Love” (LOVE pt 1) - lirik manis, reff yang semakin dan terlalu manis dan berbau not-not milik “Start The Machine” (WDNTW), dan sebuah lagu berisi permintaan berlebihan [ She speaks a word to make me grin, Can i please have her... ] rengek Delonge. namun kejutan di bridge yang menyenangkan dan segar diawali roll drum dan akhirnya lebih menghentak, dan ah, saya pribadi suka sekali nada bergema yang digunakan Delonge di  [It’s noot oveer, over, oveer..] di ujung bagian bridge dan ending yang klimaks dengan bombardir drum Willard. Ah Willard. Masih sedih kau tak lagi di band ini.

Petualangan berikutnya dimulai dengan suara-suara aneh yang –lucunya- menenangkan, perlahan mengalun “Moon As My Witness” yang kembali diisi kelembutan dan suara berbunga-bunga penuh rayuan maniak milik Delonge, dan lirik yang menjadi penghujung di hampir setiap paragraf berkata [Oh please, stay a while, God I love your smile..] dijamin akan membuat hati wanita yang sekeras planet Merkurius pun melunak dan segera mengajak anda bercinta di penghujung malam dingin di bawah jembatan San Fransisco. Akhir lagu ini sedikit mengantung, seperti melompat dari ketenangan rotasi Venus menuju kegelapan angkasa luar yang tak bertepi berisi suara transmisi dan denting string mencekam yang ternyata jembatan menuju ”Dry Your Eyes”, lagu dengan distorsi ringan dan ketukan a la ”Everything’s Magic” (I Empire) – yang ternyata memang kedua lagu ini luar biasa mirip – dengan tema lirik penuh kemarahan tentang transmisi yang gagal, dan melampiaskan segala kesalahan pada keadaan dan ketidakmampuan berkomunikasi seakan menunjukan kefrustasian yang mendalam, sebuah imajinasi yang muncul apabila kalian sudah menonton LOVE The Movie, perasaan seperti itu tergambar jelas berkali-kali di film tersebut. Lick gitar dengan chord miring yang terkesan menjilat nakal di bagian verse adalah salah satu nilai tambah di lagu ini.

”The Revelator” adalah lagu dengan judul terbaik di album ini yang dimulai dengan sound bass yang unik milik Watcher dan intro yang – entah bagaimana - mengingatkan saya akan  ”Snake Charmer” (Blink-182 | Neighborhood - 2011). Lagu ini punya bridge yang sangat baik dan catchy, [ It’s a little late in a little while can we forgot about it? With a little lake of a little fire, We’ll take the fun out of it] sangat menggelitik dan asyik untuk bergoyang bersama gaya dansa Delonge yang memalukan,  namun reff-nya cenderung membosankan dan minim kreatifitas nada. Permasalahan klasik yang diwariskan sejak LOVE pt 1. Sesuatu yang wajar mengingat menulis untuk double album dengan 20 lagu dalam tempo sekitar 4 tahun tentu saja akan mengakibatkan hal semacam ini.

Alunan dansa robotnik luar angkasa mewarnai ”One Last Thing”, ,verse dengan nada bernyanyi yang cerdas yang seperti penyempurnaan dari lagu disko a la 80an, lirik yang bernyanyi tentang kehidupan nyata, Delonge menulis dari keadaan mengenaskan di pinggir jalan hingga istana megah yang dibagun dari peperangan yang diisi kritik mendalam pada negara yang dia cintai bernama Amerika [Out of love and we’ve just begun, livin’ large in America..], dia juga mempertanyaakan bagaimana kita bisa tidur tenang di tengah keresahan yang terjadi [ How does anybody sleep tonight? Out of mind but not out of sight..] spirit Delonge yang mengambil porsi nada yang lebih tinggi di Reff kedua dan seterusnya patut diberi kredit tambahan, menghentak dan membakar semangat. [But i found, one last thing to believe in!] Seperti diberikan pencerahan petuah sejenak oleh si gendut Delonge.

Intro gitar ”Inertia” adalah hal yang – secara pribadi - paling saya suka dari lagu ini, memang kombinasi chord yang miring-miring sering digunakan, namun tidak terdengar megah disini,  lirik keseluruhan sangat baik, dimulai dengan [You’re a liar, you wear gun makes you look bigger] dan lagu ini memang penuh sindiran kehidupan sosial yang umum terjadi dan kebencian yang ditorehkan di hati dan diwariskan kepada generasi kita. Kali ini Delonge sangat cerdas mengangkat isu-isu penuh muatan politis semacam ini. Nada yang yang diambil cenderung flat dan cara bernyanyi yang bernuansa apatis dan khidmat, namun di penghujung lagu lirik [We’re still standing.. And we’ve done this before, but we’re standing] berkumandang menunjukkan dia tidak menyerah melawan kemunafikan kehidupan dan percaya akan ada akhir dari kegilaan ini, lagu ini ditutup dengan petikan dialog dari LOVE The Movie.

Oldschool, itu yang terbesit di pikiran saya saat memasuki ”Behold A Pale Horse” - yang entah darimana Delonge bisa dapat judul sejelek ini untuk masuk ke album ini – diisi dengan tempo sedang dan chord-chord berpindah secara rapat a la band rock old shcool yang dibantu drum untuk menjadi semegah mungkin, sementara Delonge bercerita tentang hari kiamat yang disadur dari kitab Wahyu, dan yak, cara bernyanyi Delonge di reff lagu ini sedikit berbau idolanya Bono (U2).

Kennedy yang bertanggung jawab akan piano merdu dan manis yang menyebarkan obat bius berkualitas terbaik di lagu ”All That We Are”,sebuah penutup yang dibalut vokal dan lirik manis Delonge, dan diakhiri interlude panjang berisi raungan gitar yang – lagi-lagi cenderung oldschool – yang dengen segala keterbatasan saya dapat menyebut beraroma Pink Floyd, kasar, egois dan bergema memenuhi angkasa luar.

LOVE part 2 memang lebih sering mengemukakan cinta pada bentuk yang lebih sederhana dan terbayangkan oleh keterbatasan mata kita, meskipun bentuknya beragam, namun tetap saja bukan sebuah album berat, namun apabila diresapi, dan menyerap artinya, dan tentu saja menonton LOVE The Movie, maka kalian akan mudah mengerti seberapa pentingnya Delonge panjang lebar menjelaskan bahwa kesendirian itu menyesakkan, dan berkumpul bersama manusia-manusia yang kita cintai adalah segala-galanya. Petualangan dengan LOVE mungkin selesai disini, dengan jutaan pesan yang ingin ditinggalkan Delonge. Secara musik dan sound, kita mungkin kenyang dan hafal bagaimana bentuk Angels&Airwaves sejak era We Don’t Need To Whisper (WDNTW)  hingga LOVE part 2 mencoba memotivasi kita dan menyisipkan berbagai makna untuk kita lebih mencintai sesama, mencintai sekitar kita, mencintai liingkungan dan udara yang kita hirup, mencintai segala bentuk kehidupan dan kemegahannya.

Petualangan menjelajahi antariksa untuk sementara selesai sampai disini, sudah saatnya kita kembali ke bumi dan menanam pohon.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More